Home / Berita / Polarisasi Politik, Ruang Oposisi, dan Konsolidasi Kekuasaan

Polarisasi Politik, Ruang Oposisi, dan Konsolidasi Kekuasaan


Jakarta

Era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya dicatat sebagai masa pembangunan infrastruktur besar-besaran, tetapi juga sebagai fase di mana polarisasi politik di Indonesia semakin tajam. Hal ini ditandai dengan semakin kuatnya kelompok-kelompok yang saling bertentangan secara ideologis, baik di tingkat elite maupun akar rumput. Apakah kondisi ini menandakan semakin matangnya demokrasi, atau justru mengarah pada konsolidasi kekuasaan yang lebih sentralistik dan absolut?

Polarisasi: Hasil dari Demokrasi yang Berkembang?

Polarisasi politik sering dilihat sebagai cerminan dari demokrasi yang semakin dewasa. Dalam sebuah negara demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, bahkan dianggap sehat, karena mendorong dialog dan debat publik yang konstruktif. Di Indonesia, masa pemerintahan Jokowi ditandai dengan kemunculan berbagai pandangan politik yang saling bertentangan, yang sering dipicu oleh isu-isu kontroversial seperti agama, kebangsaan, dan kebijakan ekonomi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah ahli menilai bahwa polarisasi ini adalah hasil dari ekspresi kebebasan berpendapat yang semakin terbuka. Menurut Yasraf Amir Piliang, seorang pengamat politik, “Demokrasi selalu membawa kebebasan dalam menyuarakan pendapat. Namun, masalahnya adalah ketika kebebasan itu digunakan untuk mempolarisasi masyarakat, maka demokrasi justru bisa mengarah ke arah yang tidak diinginkan.” (Piliang, 2022).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat yang diharapkan menjadi pilar utama demokrasi, pada kenyataannya bisa disalahgunakan untuk memperdalam perpecahan di masyarakat.

Dampak Media Sosial dalam Polarisasi Politik

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi informasi khususnya media sosial telah memperburuk polarisasi politik. Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi medan perang politik. Misalnya, pada masa Pemilu 2019, hoaks dan berita palsu yang disebarkan melalui media sosial menyebabkan perpecahan yang semakin dalam di antara pendukung pasangan calon presiden, terutama antara pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto.

Dalam bukunya, Post-Truth: Fake News and the Erosion of Democracy, Matthew D’Ancona menyebutkan bahwa pada era post-truth, fakta sering kalah dengan opini dan emosi (D’Ancona, 2021). Ini terlihat jelas dalam bagaimana berbagai isu politis seperti kebijakan penanganan pandemi Covid-19, revisi Undang-Undang KPK, dan Omnibus Law dipolitisasi dan diputarbalikkan oleh berbagai kelompok di media sosial untuk memecah belah publik.

Peneliti politik dari LIPI Syamsuddin Haris juga menekankan, “Media sosial yang seharusnya menjadi sarana edukasi politik, kini lebih banyak dimanfaatkan untuk penyebaran kebencian dan memanipulasi informasi demi kepentingan kelompok tertentu.” (Haris, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tidak lagi netral, melainkan menjadi alat untuk memperuncing polarisasi politik di Indonesia.

Konsolidasi Kekuasaan di Bawah Jokowi?

Di tengah polarisasi politik yang semakin tajam, muncul kekhawatiran tentang apakah pemerintahan Jokowi justru menggunakan kondisi ini untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Beberapa kalangan menuding bahwa kebijakan-kebijakan kontroversial seperti pembubaran organisasi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan revisi Undang-Undang KPK adalah bentuk konsolidasi kekuasaan. Mereka berpendapat bahwa langkah-langkah ini diambil untuk memperkuat cengkeraman pemerintah terhadap kekuasaan, dan bukan semata-mata demi kepentingan nasional.

Menurut Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara, “Pemerintah tampaknya mengambil langkah yang tegas dalam menghadapi kelompok-kelompok yang dianggap radikal, namun sayangnya langkah-langkah tersebut sering kali dianggap oleh masyarakat sebagai bentuk pengekangan kebebasan.” (Isra, 2020). Saldi menyoroti bahwa meskipun niat awal kebijakan tersebut adalah untuk menjaga stabilitas nasional, kebijakan itu justru menimbulkan kekhawatiran bahwa demokrasi sedang terancam oleh praktik-praktik otoritarianisme.

Lebih lanjut, revisi UU KPK pada 2019 juga dianggap sebagai salah satu upaya pemerintah untuk melemahkan lembaga independen yang selama ini menjadi simbol pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam laporannya yang diterbitkan oleh Transparency International Indonesia, revisi ini dikritik karena memberikan kontrol yang lebih besar kepada eksekutif atas KPK, yang dapat mengurangi independensi lembaga tersebut (Transparency International Indonesia, 2019).

Pembungkaman Oposisi: Pertanda Otoritarianisme?

Salah satu ciri utama pemerintahan yang cenderung ke arah kekuasaan absolut adalah pembungkaman terhadap oposisi. Pada era Jokowi, meskipun kebebasan berpendapat secara formal tetap terjaga, banyak yang menilai bahwa ruang bagi oposisi untuk menyampaikan kritik semakin sempit. Tokoh-tokoh oposisi seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli sering menjadi target kritik dari pendukung Jokowi yang fanatik, dan bahkan mengalami kriminalisasi atas pernyataan-pernyataan mereka yang kritis terhadap pemerintah.

Fenomena ini hemat saya memunculkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar menghargai oposisi sebagai bagian dari demokrasi, atau justru melihat mereka sebagai ancaman yang harus ditundukkan?

Dalam konteks ini, Yasraf Amir Piliang menulis, “Kebebasan dalam demokrasi sering diwarnai oleh ketidakbebasan, terutama ketika kekuatan mayoritas menggunakan kekuasaannya untuk membungkam suara-suara minoritas.” (Piliang, 2022). Pernyataan ini relevan untuk menggambarkan situasi di mana kekuatan politik dominan berusaha untuk mempertahankan hegemoni dengan meredam suara kritis yang dianggap membahayakan stabilitas kekuasaan.

Demokrasi yang Terkikis?

Polarisasi politik pada era Jokowi membawa dampak yang kompleks. Di satu sisi, perbedaan pendapat dan debat politik merupakan bagian esensial dari demokrasi yang berkembang. Namun, ketika perbedaan ini dipolitisasi dan diperuncing melalui media sosial, efeknya justru merusak kohesi sosial dan membahayakan stabilitas politik nasional.

Kekhawatiran akan konsolidasi kekuasaan di bawah Jokowi juga semakin meningkat, terutama dengan adanya kebijakan-kebijakan kontroversial yang dianggap mempersempit ruang bagi oposisi dan melemahkan lembaga-lembaga independen. Dalam situasi ini, masyarakat Indonesia harus waspada agar demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade tidak terkikis oleh praktik-praktik yang cenderung mengarah pada kekuasaan absolut.

Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Carothers dalam bukunya Democracy and Its Discontents, “Demokrasi tidak pernah datang tanpa tantangan, dan sering tantangan itu datang dari dalam sistem itu sendiri, bukan dari luar.” (Carothers, 2019). Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia harus tetap teguh dalam menjaga nilai-nilai demokrasi di tengah berbagai tantangan yang ada, termasuk polarisasi politik dan konsolidasi kekuasaan.

Dengan demikian, polarisasi di era Jokowi hemat saya adalah ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini bisa saja mengarah pada penguatan kekuasaan yang absolut, yang pada akhirnya justru melemahkan fondasi demokrasi yang selama ini telah dibangun.

Tian Rahmat, S.Fil alumnus IFTK Ledalero/Seminari Tinggi Ritapiret, Flores, NTT

(mmu/mmu)

Source link

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *