Jakarta –
China dan Jepang mengambil langkah strategis untuk menaikkan batasan usia pensiun wajib sebagai respons terhadap fenomena transisi demografi menuju aging population. Sebelum melihat seperti apa kebijakan yang akan ditempuh oleh China dan Jepang, telaah terhadap pertanyaan “mengapa populasi yang menua menjadi fenomena yang begitu menakutkan” menjadi relevan.
Secara teori, fenomena ini akan diikuti oleh berbagai dampak negatif terhadap perekonomian. Sebagai contoh, terdapat potensi risiko penurunan output perekonomian, penurunan tingkat saving yang memicu kelangkaan capital investment, berkurangnya supply tenaga kerja, penurunan pendapatan per kapita dalam jangka panjang, dan terjadinya fiscal imbalance yang disebabkan oleh penurunan penerimaan dari perpajakan dan kenaikan belanja pemerintah untuk membiayai berbagai program bantuan sosial yang ditujukan untuk membantu kelompok penduduk lanjut usia.
China, dengan populasi penduduk terbesar di dunia, memutuskan untuk menaikkan usia pensiun wajib secara berkala mulai 2025 dari 60 ke 63 tahun untuk pekerja laki-laki, 50 ke 55 tahun untuk pekerja perempuan kerah biru (pekerja lapangan), dan dari 55 ke 58 tahun untuk pekerja pekerja perempuan kerah putih (pekerja kantoran). Sebagai catatan, usia pensiun yang saat ini berlaku di China merupakan produk kebijakan yang diambil pada dekade 1950-an.
Senada, Jepang berencana menaikkan usia pensiun wajib dari 65 ke 70 tahun pada 2027. Kebijakan ini terbilang mengagetkan mengingat baru pada 2019 yang lalu pemerintah Jepang menaikkan usia pensiun dari 60 menjadi 65 tahun. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pemerintah Jepang mulai 2021 telah menyarankan perusahaan-perusahaan untuk memberikan pekerjaan bagi mereka yang berusia antara 65 dan 70 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan Harapan Hidup
Secara teori, kebijakan menaikkan usia pensiun wajib (retirement age) diambil dengan mempertimbangkan kenaikan usia harapan hidup. Publikasi terkini dari Department of Economic Affairs PBB dalam World Population Prospect 2024 menunjukkan usia harapan hidup di China pada 2024 mencapai 78,0 tahun, naik signifikan dibandingkan 30 tahun yang lalu yakni 69,5 tahun. Berdasarkan data dari sumber yang sama, Jepang bahkan merupakan negara dengan angka harapan hidup tertinggi di dunia setelah Hong Kong, yaitu mencapai 84,9 tahun pada 2024.
Selain melihat pada perkembangan angka harapan hidup, indikator lainnya yang mungkin menjadi pertimbangan adalah indikator old-age dependency ratio (OADR), yaitu rasio antara jumlah penduduk berusia lanjut (65+) terhadap 100 penduduk usia kerja (15-64 tahun). Untuk 2024, indikator ini berada di level 21,2 persen dan 50,7 persen masing-masing untuk China dan Jepang dan diperkirakan akan meningkat menjadi 52,3 persen dan 73,1 persen pada 2050.
Dengan menaikkan usia pensiun wajib, China dan Jepang mengharapkan tercapainya setidaknya tiga tujuan. Pertama, masa kerja penduduk diharapkan menjadi lebih panjang. Dengan masa kerja yang lebih panjang, perlambatan laju pertumbuhan tenaga kerja di dalam perekonomian dapat sedikit ditahan sehingga diharapkan perlambatan pertumbuhan PDB juga dapat ditahan. Hal ini penting mengingat China dan Jepang telah mengalami perlambatan pertumbuhan angkatan kerja yang dipicu oleh menurunnya tingkat kesuburan (fertility rate) dan populasi yang menua.
Kedua, dengan masa kerja yang lebih panjang, diharapkan periode kontribusi pekerja untuk menabung dalam rangka mempersiapkan masa pensiunnya menjadi lebih panjang. Hal ini tercermin dari kebijakan pelengkap yang juga akan diterapkan oleh China di mana untuk memperoleh hak sebagai penerima manfaat program pensiun dasar yang saat ini diterapkan, seorang pekerja setidaknya harus mengiur selama 20 tahun, dari sebelumnya ditetapkan paling tidak 15 tahun.
Di sisi lain, Jepang telah mengharuskan seorang pekerja untuk mengiur setidaknya selama 10 tahun untuk dapat mengakses manfaat dari program pensiun dasar, yaitu National Pension, saat pekerja tersebut memasuki usia pensiun. Dengan skema tersebut, program pensiun dasar baik di China maupun Jepang, pada dasarnya bersifat pay-as-you-go (PAYG), di mana manfaat pensiun yang diterima oleh para pensiunan berasal dari iuran para pekerja aktif.
Dengan demikian, mendorong para pekerja untuk mengiur lebih lama akan membantu tercapainya tujuan ketiga, yaitu peningkatan ketahanan keuangan dari sistem pensiun. Hal ini penting mengingat periode mengiur yang lebih panjang di satu sisi dapat diartikan dengan periode menerima manfaat yang menjadi lebih pendek di sisi yang lainnya namun dengan potensi manfaat yang lebih besar.
Selain dengan menaikkan usia pensiun wajib, berbagai literatur menunjukkan bahwa untuk menjaga ketahanan keuangan sekaligus kesinambungan program pensiun yang bersifat PAYG, kebijakan lainnya adalah mengurangi manfaat pensiun, menaikkan besaran iuran dan yang paling drastis adalah beralih sepenuhnya ke skema yang sepenuhnya funded.
Apa yang Dapat Dipelajari?
Dengan struktur demografi yang lebih muda dibandingkan dengan China dan Jepang, misalnya dilihat dari indikator OADR yang saat ini berada di level 10,7, apa yang dapat dipelajari Indonesia dari kebijakan menaikkan usia pensiun wajib yang ditempuh oleh dua negara tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat seperti apa struktur demografi Indonesia ke depan.
Indonesia akan menyamai level OADR China saat ini, yaitu 21,2 persen antara 2041 dan 2042 serta tidak akan menyamai level Jepang saat ini, yaitu 50,7 persen hingga 2100 mengingat pada tahun tersebut OADR Indonesia diperkirakan hanya akan mencapai 43,5 persen. Dengan struktur demograsi yang relatif jauh lebih muda dibandingkan China dan Jepang, menjadi pertanyaan selanjutnya apakah Indonesia telah menghadapi urgensi yang serupa untuk menaikkan usia pensiun wajib.
Jawaban untuk pertanyaan tersebut tentu saja belum. Justru, Indonesia saat ini masih dalam periode awal dari bonus demografi (demographic dividend). Dengan menerapkan threshold OADR sebesar 22,7 yang disarankan oleh IMF dalam Honda dan Miyamoto (2009) untuk mengklasifikasikan suatu negara telah memasuki aging population, Indonesia baru akan memasuki periode tersebut pada 2050 dengan OADR akan mencapai 23,1 persen.
Hal ini tentu menjadi kabar baik mengingat masih panjangnya waktu yang dimiliki Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi aging population, sekaligus pada saat bersamaan mengoptimalkan manfaat dari periode bonus demografi. Periode bonus demografi yang ditandai dengan peningkatan supply tenaga kerja ke dalam perekonomian sebagai dampak dari melimpahnya jumlah penduduk usia kerja dapat dioptimalkan dengan mendorong pembukaan lapangan kerja secara luas dan penguatan keterampilan agar tenaga kerja menjadi lebih berkualitas dan produktif.
Selain itu, pada periode bonus demografi, jumlah dependant menjadi lebih kecil dibanding penduduk usia kerja sehingga personal saving dari penduduk usia kerja berpotensi untuk terakumulasi dengan cepat dan menjadi modal penting untuk menstimulasi perekonomian. Tentunya diperlukan strategi kebijakan untuk mendorong peningkatan investasi sehingga saving tersebut dapat bergulir ke sektor riil.
Pada saat bersamaan, penting untuk merumuskan dan mendesain berbagai strategi kebijakan sebagai langkah antisipasi periode aging population pasca periode bonus demografi, salah satunya dengan peningkatan coverage dan partisipasi masyarakat pada program pensiun.
Kebijakan untuk mendorong perluasan kepesertaan pensiun masyarakat ini secara umum telah terefleksi pada berbagai pengaturan terkait dengan sistem pensiun Indonesia dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan nantinya dalam berbagai peraturan pelaksanaan Undang-undang tersebut yang saat ini tengah disusun oleh Pemerintah bersama stakeholders terkait.
Penting untuk dicatat bahwa tekanan terhadap pemerintah dalam masa aging population tidak akan terlalu berat apabila berbagai potensi dari periode bonus demografi dapat dikapitalisasi secara efektif. Namun, apabila manfaat dari bonus demografi gagal diserap secara optimal, maka tekanan dari besarnya jumlah lanjut usia dalam populasi, misalnya dengan urgensi penyediaan berbagai bantuan sosial, akan lebih berat dibanding periode sebelum bonus demografi.
Kembali ke Pertanyaan
Kembali ke pertanyaan, apakah Indonesia perlu menempuh kebijakan menaikkan usia pensiun wajib? Sebagai contoh, batas usia pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) ditetapkan 58 tahun, meskipun untuk ASN yang menduduki jabatan tertentu diberikan batas usia pensiun lebih dari 58 tahun. Di sektor swasta, rata-rata batas usia pensiun pegawai adalah 56 tahun. Meskipun masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan usia harapan hidup saat ini yang sebesar 71,3 tahun, mayoritas pensiunan ASN maupun pegawai atau pekerja swasta akan mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan lain setelah mencapai batas usia pensiunnya.
Dengan usia harapan hidup yang akan terus meningkat seiring perkembangan di bidang kesehatan, lingkungan, dan teknologi, maka menaikkan usia pensiun wajib secara gradual menjadi kebijakan yang relevan untuk ditempuh. Sebagai ilustrasi, pengaturan kebijakan kenaikan usia pensiun pekerja yang telah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun perlu dilaksanakan secara konsisten. Hal ini penting mengingat dengan memperpanjang masa kerja para pekerja berarti memperpanjang kontribusi mereka terhadap perekonomian sekaligus memperpanjang periode untuk mereka mempersiapkan hari tuanya.
Pada saat bersamaan, berbagai kebijakan untuk memperluas lapangan kerja baru dan penguatan kualitas SDM, misalnya dengan berbagai pelatihan untuk meningkatkan skill dan kemampuan pekerja sesuai dengan kebutuhan industri, menjadi suatu keharusan agar penduduk usia produktif benar-benar menjadi faktor produksi yang berkualitas. Dengan SDM yang sesuai dengan kebutuhan industri baik dalam kualitas maupun kuantitas, kebijakan menaikkan usia pensiun wajib tidak akan menjadi penghalang untuk kelompok usia kerja yang lebih muda untuk memasuki pasar tenaga kerja.
Sebagai penutup, meskipun mungkin belum terdapat urgensi, dengan mengimplementasikan kebijakan kenaikan usia pensiun secara berkala, Indonesia secara tidak langsung akan mempersiapkan diri dalam mengantisipasi periode aging population yang pasti akan datang dan tidak bisa dihindari di masa depan.
Pipin Prasetyono kandidat PhD di University of Queensland, ekonom Australia-Indonesia Partnership for Economic Development (PROSPERA)
(mmu/mmu)