Jakarta –
Sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia menjadi salah satu masalah besar yang terus dihadapi negara ini. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih relatif tinggi. Pada Agustus 2023, TPT berada di angka 5,86% berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh para pencari kerja adalah ketidakrealistisan persyaratan kualifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan. Kualifikasi yang terlalu tinggi atau terlalu sulit dipenuhi sering membuat para pencari kerja, terutama lulusan baru atau mereka yang berasal dari latar belakang pendidikan dan keterampilan menengah ke bawah, terjebak dalam lingkaran pengangguran.
Semakin Ketat
Dalam beberapa tahun terakhir, persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya di sektor formal, semakin ketat. Banyak lowongan pekerjaan mensyaratkan kombinasi antara pendidikan tinggi, pengalaman kerja yang luas, dan keterampilan teknis yang sangat spesifik. Misalnya, sebuah perusahaan sering menginginkan kandidat dengan pengalaman minimal 3-5 tahun untuk posisi entry-level, atau meminta keahlian dalam berbagai perangkat lunak atau teknologi yang mungkin tidak diajarkan di lembaga pendidikan formal.
Laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa skill mismatch atau ketidaksesuaian keterampilan antara pencari kerja dan kebutuhan pasar merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya angka pengangguran. Dalam laporan tersebut terungkap bahwa lebih dari 50% perusahaan merasa sulit untuk menemukan pekerja dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sementara di sisi lain, pencari kerja merasa tidak mampu memenuhi tuntutan kualifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan. Hal ini menciptakan situasi paradoks di mana ada lowongan pekerjaan, tetapi pencari kerja tidak dapat mengisi posisi tersebut karena kualifikasinya terlalu tinggi.
Akar Masalah
Salah satu akar masalah dari ketidaksesuaian kualifikasi adalah sistem pendidikan yang belum sepenuhnya mampu menyiapkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sekitar 10% lulusan perguruan tinggi di Indonesia bekerja di sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara output pendidikan dan kebutuhan dunia industri.
Permasalahan ini semakin diperburuk dengan adanya stereotip bahwa lulusan dari universitas-universitas ternama atau luar negeri lebih berharga di mata perusahaan dibandingkan lulusan universitas lokal atau sekolah vokasi. Banyak perusahaan cenderung memprioritaskan kandidat dengan pendidikan tinggi dan dari institusi terkemuka, meskipun pekerjaan yang dibutuhkan tidak selalu memerlukan tingkat pendidikan yang begitu tinggi.
Hal tersebut berdampak langsung pada meningkatnya pengangguran di kalangan lulusan dari universitas menengah atau politeknik yang sebenarnya memiliki keterampilan yang memadai, namun kalah dalam persaingan karena tidak memiliki “merek” pendidikan yang diakui. Dalam konteks ini, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja di Indonesia, terutama untuk kelompok berpendidikan rendah hingga menengah, lebih rentan mengalami pengangguran.
Tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMA atau setara pada 2022 mencapai 8,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan sarjana yang angkanya hanya sekitar 5,7%. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan kerja untuk tenaga dengan kualifikasi menengah semakin sulit diakses karena tingginya standar yang ditetapkan oleh Perusahaan.
Pengangguran Terbuka
Kualifikasi yang tidak realistis berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka pengangguran terbuka. Ada beberapa gejala yang menjelaskan bagaimana situasi ini terjadi. Pertama, peningkatan frustrasi di kalangan pencari kerja. Kualifikasi yang terlalu tinggi membuat banyak pencari kerja, terutama lulusan baru, merasa frustrasi dan kehilangan motivasi untuk melamar pekerjaan.
Mereka merasa bahwa meskipun mereka telah memenuhi syarat minimal pendidikan, masih ada banyak persyaratan tambahan yang sulit dipenuhi, seperti pengalaman kerja dan keahlian teknis tertentu. Hal ini memperburuk angka pengangguran kaum muda di Indonesia yang menurut data BPS, mencapai 16,1% pada 2022, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Kedua, fenomena underemployment (setengah menganggur). Ketika seseorang bekerja di bawah kualifikasinya atau di pekerjaan yang tidak sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki, ini disebut sebagai underemployment. Di Indonesia, underemployment menjadi fenomena yang cukup umum akibat ketidaksesuaian kualifikasi.
Menurut BPS, sekitar 24,9% dari total tenaga kerja di Indonesia berada dalam situasi underemployment, yang berarti mereka bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan mereka. Akibatnya, mereka tidak dapat memberikan kontribusi penuh terhadap produktivitas nasional, meskipun secara teknis tidak tercatat sebagai pengangguran.
Ketiga, eksklusivitas pekerjaan di sektor formal. Ketatnya persyaratan kualifikasi juga berdampak pada eksklusivitas pekerjaan di sektor formal. Laporan dari International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa banyak posisi di sektor formal di Indonesia yang dikuasai oleh kelompok elite dengan pendidikan tinggi dan akses ke sumber daya yang lebih baik.
Sementara itu, banyak lulusan dari kalangan menengah ke bawah terpaksa bekerja di sektor informal, yang sering tidak memiliki jaminan sosial atau upah layak. Hal ini memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, yang pada gilirannya berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendekatan Holistik
Untuk mengatasi masalah kualifikasi pekerjaan yang tidak realistis dan berdampak pada peningkatan pengangguran, diperlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, dunia industri, hingga lembaga pendidikan. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini. Pertama, meningkatkan sinergi antara dunia pendidikan dan industri.
Pemerintah perlu memperkuat hubungan antara lembaga pendidikan dan dunia industri melalui program pendidikan vokasi yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar. Saat ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah meluncurkan inisiatif untuk meningkatkan pendidikan vokasi melalui Merdeka Belajar Vokasi, di mana kurikulum didesain untuk lebih sesuai dengan kebutuhan industri. Namun, program ini harus diperluas dan lebih terintegrasi dengan berbagai sektor industri, termasuk sektor digital dan manufaktur.
Kedua, mendorong fleksibilitas dalam rekrutmen. Perusahaan diharapkan untuk lebih fleksibel dalam menetapkan kualifikasi dan membuka kesempatan bagi lebih banyak pencari kerja, terutama yang berasal dari latar belakang pendidikan menengah. Misalnya, perusahaan bisa fokus pada pelatihan internal dan mengadopsi pendekatan “hire for attitude, train for skill”, di mana kandidat dinilai berdasarkan potensi dan motivasi mereka, bukan hanya latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja.
Ketiga, pemberian insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja muda atau lulusan baru. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau subsidi bagi perusahaan yang memberikan kesempatan kerja bagi pencari kerja muda atau lulusan baru. Ini akan mendorong perusahaan untuk lebih membuka lowongan bagi mereka yang belum memiliki banyak pengalaman kerja, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran di kalangan pemuda.
Keempat, peningkatan pelatihan dan sertifikasi keterampilan. Banyak pencari kerja yang merasa kesulitan memenuhi kualifikasi karena mereka tidak memiliki keterampilan yang diinginkan oleh perusahaan. Oleh karena itu, program pelatihan keterampilan harus terus ditingkatkan, terutama di bidang-bidang seperti teknologi informasi, bahasa asing, dan keterampilan teknis lainnya yang relevan dengan kebutuhan pasar. Program Kartu Prakerja yang diluncurkan oleh pemerintah telah menjadi salah satu inisiatif yang baik dalam memberikan pelatihan bagi pencari kerja, namun perlu lebih fokus pada bidang-bidang dengan prospek kerja tinggi.
Laily Nissa Atul Mualifah dosen di Departemen Statistika IPB University
(mmu/mmu)