Jakarta –
Dalam beberapa tahun terakhir, Perguruan Tinggi Negeri khususnya yang berbadan Hukum (PTN BH) telah menjadi perbincangan dan kritik karena menerima mahasiswa baru melampaui kapasitasnya. Praktik ini telah menimbulkan banyak keresahan tentang integritas standar pendidikan, kesejahteraan mahasiswa, pertimbangan etika, dan nasib universitas swasta. Sebagai institusi yang awalnya didirikan dengan cita-cita untuk menyediakan pendidikan publik yang berkualitas tinggi, universitas-universitas ini sekarang menghadapi dilema moral dan etika demi tujuan pragmatis.
Menerima mahasiswa melampaui kapasitasnya seperti yang saya sebutkan di atas adalah mimpi buruk bagi pendidikan kita. Mengapa? Pertama, ruang kelas tidak memadai sehingga banyak pembelajaran dan pengajaran dialihkan ke daring bahkan dengan jumlah peserta kelas ratusan karena menggabungkan beberapa kelas. Fenomena ini adalah fakta yang sering saya lihat dan dengar dari beberapa dosen dan mahasiswa. Bahkan tak jarang menimbulkan protes mahasiswa.
Kedua, jumlah dosen yang tidak seimbang bahkan jauh sekali dari ideal sehingga menambah beban mengajar dosen yang sangat signifikan. Ketiga, layanan mahasiswa, seperti konseling dan bimbingan karier, menjadi terbatas. Kejenuhan ini menghasilkan lingkungan akademis yang rapuh di mana kualitas pengajaran pasti buruk dan akan berakibat pada kualitas lulusan.
Selain itu, layanan siswa yang penting seperti bimbingan akademik, dukungan kesehatan mental, dan konseling karier menjadi terganggu dan rapuh. Lebih jauh, jumlah mahasiswa melebihi kapasitas sering mengakibatkan ketidakstabilan pembelajaran dan pengajaran, di mana mahasiswa dipaksa untuk menghadiri kelas pada jam-jam yang tidak biasa atau di luar kampus karena kurangnya ruang-ruang kelas yang memadai.
Pragmatisme di Atas Prinsip
Kecenderungan PTN BH untuk menerima mahasiswa secara berlebihan didorong oleh keberlanjutan finansial. Tidak seperti sebelumnya, PTN BH memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengelola keuangan, yang menciptakan tekanan untuk menghasilkan pendapatan mandiri. Ketika pendanaan pemerintah menurun atau mandek, universitas ini semakin bergantung pada biaya kuliah sebagai sumber pendapatan utama mereka.
Pergeseran ke arah model bisnis dalam pendidikan tinggi ini menimbulkan masalah etika yang kritis. Universitas mulai beroperasi lebih sebagai entitas yang menghasilkan pendapatan daripada sebagai penjaga pertumbuhan intelektual. Memprioritaskan jumlah mahasiswa untuk keuntungan finansial mengorbankan misi inti universitas untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, menumbuhkan pandangan transaksional tentang pembelajaran di mana kuantitas mengalahkan kualitas. Ini adalah kemunduran yang serius.
Seharusnya sebagai universitas yang berafiliasi dengan pemerintah wajib untuk menegakkan integritas akademis dan kesejahteraan mahasiswa. Menerima lebih banyak mahasiswa daripada kapasitas dan kewajaran mengkhianati kepercayaan publik, merusak pedoman etika dan kredibilitas akademik. Padahal universitas memiliki tanggung jawab moral kepada mahasiswa yang menginvestasikan waktu, uang, dan perjuangan mereka.
Namun, ketika PTN BH menerima lebih banyak mahasiswa daripada kapasitasnya, secara tidak langsung ‘membunuh’ universitas swasta. Dengan berkurangnya jumlah calon mahasiswa, perguruan tinggi swasta harus berjuang super keras untuk mengisi ruang kelas dan mempertahankan kelangsungan hidup finansial mereka. Ketidakseimbangan ini dapat mengurangi keragaman dan aksesibilitas pilihan pendidikan tinggi.
R. Mustofa dosen S2 Pendidikan Dasar Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
(mmu/mmu)